Hembusan angin malam dan suara ombak yang menghantam karang membuat
aku terpaku di keheningan malam ini. Kegelapan menutupi diriku dari
terangnya cahaya di sudut desa ini. Duduk di tepian pantai sambil
mengukir gambaran abstrak di atas halusnya pasir.
Berlibur bersama keluarga boleh dibilang telah menjadi rutinitas bagi
keluargaku. Satu bulan sekali pasti orangtuaku mengajak kami untuk
berlibur dimana yang kami inginkan. Mungkin ini cara mereka meminta maaf
kepada kami. Mungkin juga liburan ini adalah acara dimana kami bisa
bertemu mereka secara langsung dan berbicara tentang banyak hal. Pasti
kalian bingung apa yang aku maksud dalam perkataanku barusan.
Ayah dan mama adalah seorang dokter di Rumah Sakit yang terkenal di
Nusantara ini. Mereka berangkat kerja sangat pagi ketika aku dan adikku
belum bangun dari tidur kami dan pulang disaat kami telah tertidur lelap
sambil meringkuk merindukan mereka yang dulu, mereka yang ada disaat
kami membutuhkan kasih sayang, mereka yang selalu ada disaat kami ingin
bertanya dan berbagi tentang banyak hal dan tidak seperti sekarang!.
Itulah arti dari kalimatku, Mereka mengajak kami berlibur agar kami bisa
memaafkan mereka. Memaafkan mereka karena mereka telah bekerja terlalu
sibuk dan kurang memperhatikan kami. Mereka hanya sibuk dengan urusan
masing-masing, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dan tidak memikirkan
kebahagiaan anak-anaknya, bisa dibilang mereka terlalu sibuk
sampai-sampai tak ada waktu untuk kami kecuali disaat liburan ini.
Berbagai perasaan aku rasakan sekarang, perasaan kesal, perasaan benci,
perasaan menyesal memiliki orangtua seperti mereka. Mungkin bagi Reza
adikku yang baru berumur 5 tahun belum mengerti keadaan ini maklum anak
kecil yang tak tahu apa-apa tentang masalah orang dewasa.
Batu-batu koral yang berada di sekitar ku, aku lambungkan ke tengah
laut sana melampiaskan kekesalan, amarah dan penyesalan yang aku rasa
saat ini. Air mata mengalir dari asalnya dan menetes di kesunyian malam
ini. Menekukkan kedua kaki sambil menaruh kepalaku di atasnya dan terus
menangis sebagai hal yang aku lakukan untuk mengeluarkan amarah dalam
diri ini.
Suara kicauan burung membuat aku terbangun dari malamku yang dihiasi
amarah. Tiba-tiba aku terbangun dan merasa tak asing lagi dengan tempat
ini. Yang jelas tempat yang berbeda ketika aku tak sengaja tertidur
semalam. Aku baru ingat ini vila keluarga kami yang ada di pinggir
pantai. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku melangkah
mencapai pintu kamarku untuk membukakan pintu, ternyata ayah yang
mengetuk pintu kamarku. Ayah menanyakan keadaanku tapi aku hanya diam
tak menanggapinya tiba-tiba mama muncul dari balik tirai yang
menghubungkan ruang keluarga dengan ruang makan dan bertanya kenapa aku
aku bisa tertidur di tepi pantai. Mereka bilang Kang Herman yang
menemukan aku disana dan mengendongku kembali ke Vila ini. Kukira mereka
yang membawaku kesini aku sangat kecewa kepada mereka. Sebenarnya apa
sih yang mereka lakukan semalam apakah mereka masih mengerjakan
pekerjaan mereka sampai-sampai tak sadar bahwa aku sedang tidak ada di
Vila. Apakah mereka tak khawatir dengan keadaan anaknya bila terjadi
apa-apa? apa mereka tak peduli lagi dengan ku?. Sungguh rasa kecewa
kembali menyelimuti perasaan ini. Aku hanya dapat memendam rasa ini, aku
hanya menahan linangan air mata yang ingin menetes.
Segala pertanyaan dari mereka aku hiraukan tak ada yang aku tanggapi.
Aku menatap mata mereka dengan tatapan yang penuh dengan kemarahan,
mereka hanya mengernyitkan dahi ketika aku menatap mereka. Apakah mereka
masih tak menyadari bahwa aku sangat kecewa kepada mereka yang terlalu
sibuk?. Aku langsung bergegas pergi menuju meja makan dengan menahan
amarah. Aku duduk di kursi meja makan sambil mengambil nasi dan lauk
pauk. Mereka duduk di depanku tapi aku tak mengaggap kalau mereka ada di
depanku. Aku makan seperti orang yang sangat kelaparan. Nasi berserakan
dimana-mana, suara sendok yang mengenai piring kaca terdengar sangat
jelas dan hal itu kulakukan terus menerus sampai mereka akan menegurku.
Tiba-tiba ayah naik darah melihat perlakuanku tapi ibu melarangnya dan
menyuruhnya untuk duduk lagi. Ibu memarahiku dengan lembut tapi tetap
saja hatiku tidak luluh bahkan aku makin menjadi-jadi. Kali ini ayah
naik darah lagi ia tak segan-segan memarahiku di depan adikku yang masih
kecil sampai-sampai Reza menangis melihat pertengkaran kami.
Sungguh aku tak bisa menahan ini lagi aku sudah sangat kecewa dengan
perlakuan mereka. Disaat ayah memarahiku tiba-tiba handphone ayah
berbunyi ayah buru-buru mengangkat telpon tersebut ternyata itu adalah
perawat yang bekerja di rumah sakit tempat ayah dan mama bekerja.
Perawat tersebut memberi tahu kepada ayah dan mama bahwa ada pasien yang
harus segera dioperasi. Setelah mendapat telpon tersebut mereka
sepertinya akan bersiap-siap menuju rumah sakit. Disanalah puncak
kemarahanku. Aku membanting piring ke lantai hingga piring itu pecah
berantakan. Mereka serentak kaget melihat perbuatan ku itu. “kalian akan
pergi bekerja lagi? Kalau begitu silakan tak usah lagi mengurusi
anak-anakmu ini biar saja kami hidup sesuka hati kami, ini waktu untuk
keluarga kita berlibur ayah ..mama.. bisa tidak kalian luangkan waktu
kalian sedikit saja untuk kami biar kami dapat merasakan kasih sayang
dari orangtua, agar kami dapat merasakan apa yang teman-teman kami
rasakan, mendapatkan kasih sayang penuh dari orangtuanya” aku hanya bisa
berkata seperti itu kepada mereka sambil menangis tersedu-sedu. Aku
berlari dari ruangan tersebut dan meninggalkan vila tersebut. Aku
berlari sekuat tenaga ke tempat yang sejauh mungkin. Aku memilih berlari
menaiki bukit aku terus berlari untuk pergi meninggalkan mereka.
Aku lelah sungguh lelah berlarian sekuat tenaga tanpa ada energi yang
mencukupi. Di atas bukit aku duduk di sebuah batu besar yang menghadap
pemandangan yang sungguh luar biasa, aku termangu melihat ciptaan dari
tuhan yang ini. Pemandangan pantai dan perbukitan sungguh menakjubkan.
Tiba-tiba ponsel ku bergetar dari kantong celana. Aku melihat siapa yang
menelpon, ternyata mama. Perasaan marah kecewa mulai muncul lagi ke
dalam benakku ini padahal baru saja aku sekejap melupakannya. Aku
melempar ponselku sejauh mungkin dengan sekuat tenaga. “aku benci punya
orangtua seperti kalian, aku tidak mau menjadi anak kalian, pekerjaan
dan pekerjaan selalu dinomor satukan sedangkan anak kalian? Kalian
telantarkan begitu saja kan…” kalimat itu aku lontarkan aku ingin semua
yang ada di sekitarku tahu bahwa aku ini marah, aku kecewa kepada
orangtuaku, aku ingin mereka memperhatikan anak-anaknya bukan hanya
memperhatikan pekerjaan saja. Aku menangis lagi sekencang-kencangnya
hingga aku merasa lemas.
Tiba-tiba kepalaku dilempar kelikir yang entah datang dari mana. Aku
mencari siapa yang melemparnya dengan perasaan kesal. Enak saja dia
melempar kerikil ke kepalaku memangnya ia siapa berani-beraninya orang
itu. Seorang gadis muncul dari balik batang pohon besar yang ada di
belakang batu besar itu. Aku serentak kaget melihatnya karena aku tak
tahu dia itu siapa dan tiba-tiba muncul seperti itu. “siapa kau?
seenak-enaknya saja melempar kepalaku, apa aku punya salah dengan mu?”
bentakku kepada gadis tersebut. “kau ada salah denganku, kau telah
membangunkanku, sungguh berisik sekali sampai-sampai aku tak tidur
dengan tenang” balasnya dengan membentak juga. Aku mengalah karena aku
sadar bahwa aku memang salah telah menganggu tidurnya. Aku meminta maaf
kepada gadis tersebut untung saja gadis tersebut memaafkanku.
Gadis tersebut mendengar apa yang telah aku teriakkan tadi.
Mendengarkan apa saja yang telah aku katakan tadi tentang aku benci
kepada orangtuaku, telah menyesal menjadi anak mereka dan tidak mau
memiliki orangtua seperti mereka. Air mata tak dapat lagi aku pendam,
aku menangis lagi kali ini di hadapan gadis yang baru saja aku kenal.
Gadis itu mengelus-ngelus punggungku menyabarkanku dan membuatku
menjadi tenang sedikit. Namanya Naya. Gadis mungil yang mempunyai wajah
oriental. Gadis ini memang keliatan cuek tapi aku merasa ada sesuatu hal
yang membuat ia tidak bersikap seperti itu kepadaku. “aku telah lama
merasakan apa yang engkau rasakan” tak sengaja aku terdengar ucapan itu
dari bibir mungilnya itu. Benar tebakanku, aku merasa Naya telah
mengalami hal seperti yang aku rasakan saat ini dan ternyata itu benar.
Ternyata Naya telah lama tinggal sendirian di bukit ini, ia tinggal di
sebuah pondok dekat dari sini rupanya. Naya juga pergi meninggalkan
orangtuanya yang terlalu sibuk di dunia bisnis. Naya memilih jalan ini
karena ia rasa memilih jalan pergi meninggalkan keluarga dan hanya
berdiam diri di rumah sendirian sama saja. Tapi di bagian cerita inilah
yang entah mengapa sampai-sampai membuat Naya mengeluarkan air mata.
Orangtua Naya berusaha mencari Naya namun disaat proses pencarian Naya
orangtuanya malah terjatuh dari atas bukit dan menyebabkan mereka
meninggal dunia. Disaat itu Naya merasa sangat menyesal mengapa ia
meninggalkan orangtuanya jika ia tahu bakal terjadi kejadian ini Naya
pasti lebih memilih untuk sendirian di rumah dari pada orangtuanya
meninggal. Namun takdir tak bisa diubah dan akan terus berjalan. Naya
hanya bisa terpukul saat itu. Oom dan tantenya Naya berusaha membawa
Naya pulang namun Naya tak mau karena dengan alasan ia ingin menenangkan
diri sejenak. Tepat seminggu yang lalu kejadiannya. Disana hati Naya
sangat terpukul. Naya merasa dialah yang telah membunuh orangtuanya
sendiri. Orangtuanya meninggal disaat mencari keberadaan dirinya. Naya
menceritakan kronologis kejadian tersebut disana lah aku mulai merasakan
tubuhku menjadi dingin dan terdiam. Ia sangat sedih dan terpuruk.
Menyesal adalah hal yang pertama dirasakannya dan Naya tak mau aku
merasakan hal yang sama seperti dirinya. “kembalilah, temuilah dan
meminta maaf kepada mereka, mereka tidak salah, mereka sebenarnya
bingung bagaimana mengatur waktu dengan kalian. Tolong hilangkan egomu
untuk saat ini Nayla, apa kau mau mengalami nasib sepertiku dan
merasakan penyesalan seumur hidup?” ucapnya kepadaku. Aku bingung harus
bagaimana aku memang kesal kepada mereka tapi aku tak mau kekesalan itu
membuat aku kehilangan mereka. “ya benar, aku tak mau meskipun aku marah
kepada mereka tapi aku masih ingin menghabiskan hidup ku dengan mereka”
jawabku dengan hati yang gelisah. “kalau begitu kembalilah, secepatnya
sebelum hal yang sama terjadi” ungkap Naya dengan nada yang sangat
dalam.
Aku pun bergegas berlari turun dari bukit itu. Aku baru teringat jika
aku meninggalkan Naya begitu saja. Aku pun berbalik badan dan bilang
padanya kalau aku berjanji akan kembali lagi kebukit ini dan menemui
dirinya lagi besok.
Senja pun menghiasi perjalananku untuk kembali ke Vila. Aku tak tahan untuk segera kembali ke Vila. Aku ingin menemui mereka meminta maaf kepada mereka atas ke egoisanku selama ini. Tibalah aku di rumah, pintu vila seperti biasa selalu tertutup. Hanya ada Kang Herman yang sedang memotong rumput di depan vila. Kang Herman terkejut melihat kedatangan ku. Ia memberi tahu bahwa ayah dan mama sedang pergi ke rumah sakit karena ada pasien yang segera dioperasi. Saat kondisi seperti ini aku boleh saja marah tapi itu jika aku berfikir menggunakan ego. Untuk saat ini aku tak mau mengambil tindakan dengan memakai ego oleh sebab itulah aku memilih menunggu di dalam rumah untuk menanti kedatangan mereka.
Senja pun menghiasi perjalananku untuk kembali ke Vila. Aku tak tahan untuk segera kembali ke Vila. Aku ingin menemui mereka meminta maaf kepada mereka atas ke egoisanku selama ini. Tibalah aku di rumah, pintu vila seperti biasa selalu tertutup. Hanya ada Kang Herman yang sedang memotong rumput di depan vila. Kang Herman terkejut melihat kedatangan ku. Ia memberi tahu bahwa ayah dan mama sedang pergi ke rumah sakit karena ada pasien yang segera dioperasi. Saat kondisi seperti ini aku boleh saja marah tapi itu jika aku berfikir menggunakan ego. Untuk saat ini aku tak mau mengambil tindakan dengan memakai ego oleh sebab itulah aku memilih menunggu di dalam rumah untuk menanti kedatangan mereka.
Azan maghrib pun berkumandang aku terbangun dari tidurku walau
sebentar tapi bisa membuat hatiku sedikit tenang. Aku menggerakkan badan
untuk bangkit lalu menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. “ya allah
maafkan lah hambamu ini ampunkan lah dosa hambamu ini, ya allah
lindungilah kedua orangtuaku dalam perjalan mereka menuju vila, ya allah
semoga ayah dan mama bisa memafaakan kesalahan Nayla. Amin” kalimat
demi kalimat doa, aku curahkan kepada allah di akhir sholat, aku berdoa
sepenuh hati, ketulusan, keikhlasan aku limpahkan sepenuhnya. Tiba-tiba
terdengar suara mobil memasuki garasi. “Itu pasti mama dan ayah” besitku
dalam hati. Mereka pun mengetuk pintu vila, dengan perasaan legah atas
keselamatan mereka, aku membukakan pintu. Ayah dan Mama kaget melihat
aku, mereka meminta maaf jika mereka tidak mencariku ke bukit tadi
siang. Mama dan ayah lansung memelukku sampai-sampai aku sesak untuk
bernafas. “mama dan ayah tega sampai-sampai tidak mencari Nayla, tapi
tidak apa-apa toh sekarang Nayla sudah pulang lagi. maafin nayla juga ya
ayah.. mama.. Nayla menyesal melakukan itu, Nayla takut mama dan ayah
kenapa-napa jika harus mencari Nayla tadi” kuungkapakan segala kalimat
yang telah aku susun jika akan bertemu dengan mereka. Mereka bingung
mengapa aku takut jika mereka mencariku ke bukit tadi, akhirnya aku pun
menjelaskan segala yang aku alami, tentang Naya pun aku ceritakan. Gadis
itulah yang membuat aku kembali lagi ke vila ini. Dialah gadis yang
membuat aku sadar akan kerasnya egoku.
Besok aku berencana untuk mengajak keluarga ku menemui Naya di atas
bukit sana mereka merasa Iba kepada Naya atas musibah yang dialaminya.
Aku pun segera bersiap-siap untuk pergi ke alam mimpi, aku terlelap dan
menikmati indahnya hidup ini. Walau segala masalah datang tapi akhirnya
akan berujung pada penyelesaian, dan itulah sebagian dari jalan hidupku.
Kicauan burung kembali membangunkan ku, jendela dan gordeng yang
telah terbuka membuat suasana pinggir pantai sangat terasa, angin pagi
yang sejuk ditambah sinar matahari pagi membuat aku ingin tidur lebih
lama lagi namun aku ingat kalau hari ini aku akan mengunjungi Naya.
Aku pun bergegas siap-siap, mandi dan memakai pakaian, semuanya telah
aku lakukan dan saatnya untuk mengisi perutku yang dari kemarin telah
menunggu makanan-makanan. Saat membuka tudung nasi aku terkejut tak ada
satu pun makanan yang tersedia. Tiba-tiba dari halaman depan mama
memanggilku dan memberi tahu jika ia telah menyiapkan semuanya, sarapan
telah ia siapkan di dalam mobil. Mama memang sengaja berbuat seperti itu
agar kami bisa sarapan bersama-sama dengan Naya. Ayah telah siap untuk
menyetir mobil ke bukit. Ia telah membusungkan dadanya itu menujukkan
bahwa dia telah siap dan ingin segera pergi menemui Naya. Ayah penasaran
mana gadis yang telah membuat aku menjadi begini sekarang dulu yang
selalu berfikir memakai ego kini tidak lagi.
Mobil pun meluncur menuju bukit “Naya aku datang” besitku dalam hati.
Suasana perbukitan di pagi hari mungkin kalian tahu rasanya. Sinar
matahari dan udara yang sejuk bagai menemaniku di perjalanan kali ini.
Tibalah kami di atas bukit. Aku berlari menuju tempat dimana aku
pertamakali bertemu dengan Naya tapi aku merasa aneh. Banyak polisi yang
berdatangan di tempat ini seperti sedang mengintrogasi kasus saja. Aku
mulai kebingungan sebenarnya apa yang terjadi. “permisi pak apa yang
terjadi?” rasa penasaran telah menyelimuti pikiranku saat itu. Salah
satu pak polisi pun memberi informasi apa yang terjadi, iya berkata
bahwa ada seorang perempuan yang bunuh diri disini, ia melompat ke dalam
jurang dan mayatnya ditemukan warga sekitar bukit. Aku berdecak kaget
apakah itu Naya. Setauku yang tinggal di bukit ini hanya Naya seorang.
Aku berlari meninggalkan keluargaku, aku menuju batu besar tempat aku
pertama kali bertemu dengan Naya. Aku berteriak memanggil namanya namun
Naya tak menjawab. Akhirnya aku sampai di batu besar itu, disana aku
menemukan sepucuk surat. Aku membuka surat itu dengan tangan yang
bergetar dan saat kubaca “Nayla ini aku Naya, mungkin ketika kau kesini
lagi kau tak dapat bertemu lagi dengan ku, maaf aku telah memilih jalan
yang salah bagimu namun itu jalan yang benar bagiku, aku telah menyusul
kedua orangtuaku ke surga, sampai jumpa Nayla semoga kita bisa bertemu
lagi” air mata pun tak dapat aku bendung lagi. Teman yang aku temukan
hanya satu kali ini telah membuat perubahan pada hidupku tapi aku tak
dapat membalas jasanya. Aku pun terjatuh dan terduduk di rerumputan,
orangtuaku memelukku dan menabahkan hatiku. Mereka telah tahu bahwa itu
Naya karena mereka tadi bertanya kepada salah satu warga sekitar.
Selamat tinggal Naya terimakasih atas bantuanmu. Semoga kita bisa
bertemu lagi untuk dikehidupan kedua nanti. Aku pun membalikkan badan
untuk melihat tempat dimana aku dan Naya pernah bercerita yang pertama
dan terakhir kalinya. Aku melihat sosok Naya di antara pepohonan sambil
melambaikan tangannya kepadaku dan kubalas dengan senyuman.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar